GERAKAN SALAFIYAH
KELOMPOK 12
Disususn Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu: Syafi’i Jauhari




Disusun Oleh :
1.      Fika Isna Diah                   ( 1503026034 )
2.      Kholifatul Amanah           ( 1503026035 )
3.      M.Arif Muhyidin              ( 1503026036 )





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2015








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salaf merupakan generasi awal mulai para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang mengikuti semua jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Mereka mempunyai pendapat tentang agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Pada dasarnya mereka mengikuti ASWAJA. Sedangkan ASWAJA itu sendiri ada yang disebut salaf itu sendiri dan khalaf yang berarti generasi yang datang kemudian.
Salafiyah itu dibangun untuk membangun kembali pemikiran kaum muslimin agar mereka kembali ke pedoman Al – Qur’an dan Al - Hadits. Gerakan ini dipelopori oleh Ibn Taimiyah pada abad ke-7 H. Adanya gerakan dari Ibn Taimiyah tersebut sempat menimbulkan perselisihan dengan Asy’ariyah. Pada waktu bersamaan juga muncul Wahabiyah yang menitik beratkan untuk berusaha memerangi faham lainnya, sehingga di munculkan gerakan salaf.
            B. Rumusan Masalah
                        1. Apa pengertian gerakan salafiyah?
                        2. Bagaimana sejarah dan perkembangannya?
                        3. Apa saja pokok-pokok ajarannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian gerakan salaf
            Gerakan salafiyah gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Salaf menurut bahasa adalah generasi pendahulu. Sedangkan aliran salaf adalah generasi awal mulai dari para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in[1]. Kata salaf adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita[2].
            Adapun makna terminologis as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah SAW. Dalam haditsnya “sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) dimasaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim).[3]
            Aliran salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliyah yang muncul pada abad ke- 4 H dengan mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yang dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan para pendirian ulama salaf.

B. Sejarah dan Perkembangannya.
            Setelah bahgdad (Pusat peradaban Islam) dihancurkan oleh Tentara Mongol pada tahun 1258 M. Islam mengalami kemunduran dari segi pemikiran, Keagamaan, Politik, Soial, maupun Moral. Pada saat itu Kedzaliman merajalela, penguasa tak berdaya, ulama’ tak berijtihad secara murni.
Kaum muslimin mengalami masa taklid. Pada pertengahan abad ke 13M , mayarakat muslim banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama’, dan tokoh-tokoh tarekat. Mereka cenderung meninggalkan alqur’an dan sunnah. Pada waktu itu masyarakat cenderung terjebak dalam perbuatan syirik, bid’ah, khurafat (menyeleweng dari akidah islam) dan tahayul. Kondisi itu melahirkan melahirkan sebuah gerakan yang dikenl dengan gerakan salafiyah.[4]
Pada abad ke-4 H golongan hanabilah dan aliran asy’ariyah sering terjadi pertentangan baik yang bersifat mental (perbedaan pendapat) maupun yang bersifat fisik, karena dimana terdapat aliran asy’ariyah yang kuat, maka disitu pula terdapat orang-orang hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang berhak mewakili ulama salaf.
            Pada abad ke-7 H, aliran salaf mendapat kekuatan baru dengan munculnya Ibnu Taimiyah di Syiria (661-728 H) yang telah memberikan daya-daya vitalitas kepadanya dan memperkaya problem-problem yang dibicarakannya, yang diambilnya dari keadaan dimasanya. Kemudian pada abad ke-12 H aliran salaf tersebut dihidupkan kembali di Saudi Arabia dengan munculnya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dimana pendapat-pendapatnya kemudian terkenal dengan sebutan “Aliran Wahabiyah”. Pengaruh aliran salaf tidak hanya terbatas di negara Saudi saja, akan tetapi hijrah melampaui batas negeri itu, seperti India, Indonesia dan sebagainya[5].
            Tokoh yang pantas dianggap sebagai pejuang salaf adalah Ibnu Taimiyah. Adapun nama lengkapnya adalah Abdul Abas Taqijuddin Ahmad bin Abdilhalim bin Taimiyah Al Harrani (lahir 22 januari 1263 M/10 robi’ul awal 661 H, wafat: 1328 M/20 dzulhijah 728 H). Berasal dari Harran Turki.
            Kaum salaf memiliki beberapa sifat : pertama tak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan qada’ dan qadar. Kedua menghindarkan diri dari kekuatan yang tak berujung, seperti masalah aqidah. Ketiga setia pada Rasulullah SAW. Keempat warak dan zahid. Kelima benci terhadap bidah. Geraka Salafiyah dikenal dengan tajdid (pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya dengan gerakan islah (perbaikan) dan gerakan Reformasi.
            Pada perkembanganya gerakan salaf di indonesia tidak terlpas dari dinamika internasional yang cenderung  mendunia. Perkembangan salaf di indonesia ternyata rawan konflik. Sumber konflik yang pertama adalah berasal dari  konflik internasional. Hal ini termanifestasi dalam tindakan saling kecam satu sama lain didalam gerakan salaf. Sedangkan konflik yang kedua adalah ketegangan guru dan murid kerena ulah sang murid yang dianggap melenceng oleh sang guru. Konflik ini di alami oleh Jafar Umar Thalib dengan Yusuf Baisa yang saling menbid’ahkan satu sama lain. Konflik ketiga adalah konflik antara ulama’ salaf
            Dengan demikian gerakan salaf di indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di timur tengah. Saling tuding dengan mengatasnamakan agama menjadi ciri khas dari gerakan salafi. Ironisnya kelompok salafi mengajarkan doktrin anti taqlid pada para pengikutnya. Namun pengikut yang taqlid pada para syaikh di timur tengah. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik di timur tengah sehingga di indonesia juga terjadi konflik.[6]
            Gerakan salafiyah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk indonesia. Sejumlah tokoh muslim yang melanjutkan gerakan itu antara lain: Muhammad bin Abdul wahab, Jamaludin Al-Afghani,  Muhammad Abduh, Muhammad Rsyid Rida, dan lainnya.

C. Pokok-pokok Ajarannya.
            Kita tahu bahwa aliran mu’tazilah memahami aqidah-aqidah islam menggunakan metode filsafat dan banyak pula yang mengambil pikiran-pikiran filsafat, meskipun sikap ini timbul karena keinginan hendak mempertahankan islam dari serangan-serangan lawannya yang berfilsafat pula. Aliran yang datang kemudian itu aliran Asy’ariyah dan Maturidiah, juga tidak terhindar dari metode tersebut, meskipun tidak sama tingkatan pemakaiannya.
            Ibnu Taimiyah membagi metode ulama-ulama islam dalam lapangan aqidah menjadi 4 yaitu:
1. Aliran filsafat yang mengatakan bahwa Al - Qur’an berisi dalil khotobi dan iqnal (dalil penenang dan pemuas hati, bukan pemuaskan pikiran).
2. Aliran mu’tazilah lebih memegang dalil aqli yang rasional sebelum mempelajari dalil-dalil Al-qur’an.
3. Golongan ulama yang percaya pada aqidah-aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan oleh Al - Qur’an sebagai suatu berita yang harus dipercayai, tetapi tidak dijadikan pangkal penyelidikan akal pikiran.
4. Golongan yang mempercayai aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan dalam Al -qur’an dan juga menggunakan akal pikiran.
            Menurut Ibnu Taimiyah, metode aliran salaf berbeda dengan keempat metode golongan tersebut. Aliran salaf hanya percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalilnya yang ditunjukan oleh nash (Al - Qur’an dan Hadits). Aliran salaf tidak percaya kepada metode logika rasionil yang asing bagi islam, karena metode ini tidak terdapat pada masa sahabat dan tabi’in.
            Aliran salaf mengatakan bahwa kalau sekiranya metode tersebut merupakan suatu keharusan, maka berarti Rasul dan sahabat-sahabatnya tidak mengerti ayat-ayat  Alqur’an, bahkan tidak tahu perkataan mereka sendiri tentang sifat-sifat Tuhan.
            Jadi jalan untuk mengetahui aqidah – aqidah islam dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, baik yang pokok ataupun bukan, baik aqidah itu sendiri maupun dali-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya Al – Qur’an dan Hadist yang harus diterima dan tidak boleh ditolak
            Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk mena’wilkan Al – qur’an atau menfsirkannya ataupun menguraikannya, kecuali dalam batas – batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh  Hadist. Jadi fungsi akal pikiran adalah saksi pembenar dan penjelasan dalil – dalil Qur’an, bukan menjadi hakim atau menolaknya.
Pokok ajaran dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki inovasi yang telah ditambahkan pada abad nanti karena material dan pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini.
Tiga pokok Ajaran Salafi :
1. Keesaan Dzat dan Sifat
Semua kaum muslimin sepakat pendapatnya tentang keesaan tuhan, tidak ada yang menyerupai-Nya. Akan tetapi menurut ibn taimiah, konotasi (kandungan) perkataan “Keesaan “ (Tauhid) dan perkataan-perkataan lainnya yang ada hubungannya dengan perkataan tersebut, yaitu “Penyucian” (tanzih), “Penyerupaan” (Tasybih) dan “Penjisiman”(Tajsim anthromorph) dapat berbeda-beda menurut perbedaan orang yang memakainya.
Perbedaan ulama tentang konotasi (Kandungan arti) perkataan-perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk menuduh orang lain telah kafir, sebab perbedaan tersebut timbul karena perbedaan tinjauan, bukan perbedaan dalam arti yang sebenarnya. Aliran salaf tidak pernah mengkafirkan lawan-lawannya, melainkan hanya memandang mereka sesat, seperti golongan filosof, aliran mu’tazilah dan golongan tasawuf yang mempercayai persatuan diri dengan Tuhan (ittihad) atau peleburan diri pada dzat-Nya (fana’). Aliran salaf menetapkan sifat-sifat, nama-nama,perbuatan-perbuatan, dan keadaan( ahwal) yang termuat dalam Al – Qur’an dan Hadits, Seperti :
Al  - Hajju(yang hidup),Al – Qayyamu ( yang tidak membutuhkan yang lain), As-Shamadu ( yang dibutuhkan oleh yang lain), Al –‘Alimu ( yang mengetahui), Al – Hakim( yang Bijaksana),As-Saami’ (yang mendengar), AL – Bashiru (yang melihat
),Al-Qadhiru ( yang berkuasa), Al – Ghafur(yang memberi ampunan), Ar – Rahim (yang Pengasih), Dzul ‘arsy majid (yang mempunyai Arsy yang megah), murka dan suka(Q.S Al – Maidah : 80,Q.S An – Nissa :93),Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan(Q.S Al - Baqarah :210),Bertempat di langit (Q.S Fishilat :11),tidak mepunyai muka( Q.S al – Baqarah :115),mempunyai tangan (Q.S Ali – Imran :173). Sifat – sifat tersebut dipercayai oleh aliran salaf dengan memegangi arti lahir, meskipun dengan pegertian bahwa sifat – sifat tersebut tidak sama dengan sifat – sifat makhluk - Nya
2. Keesaan Penciptaan
Dasar “Keesaan penciptaan” ialah bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi, apa yang ada didalamnya atau yang terletak diantara keduanya tanpa sekutu dalam menciptakannya, dan tidak ada pula yang mempersengketakan kekuasaan-Nya, tidak ada kemauan makhluk yang mempersengketakan kemauan Tuhan, atau bersama-sama dengan Dia dalam menciptakan segala sesuatu, bahkan segala seuatu dan semua pekerjaan datang dari Tuhan, dan kepada-Nya pula kembali.
Kelanjutan dari kepercayaan tersebut ialah persoalan ”Jabar dan Ikkhtiyar” dan “Apakah perbuatan Tuhan terjadi karena untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau tidak”
Sebenarnya pendaapat Ibnu Taimiah, sebagai pembawa suara aliran salaf dalam masalah Qadha dan Qadar, merupakan paham tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariah, dan pada umumnya mendekati aliran Maturidiah.
            3. Keesaan Ibadah
Keessaan ibadah artinya seseorang manusia tidak mengarahkan ibadahnya selain pada Tuhan, dan hal ini baru terwujud apabila dua hal berikut ini dipenuhi, yaitu :
1.      Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah, siapa yang mengikutsetarkan seseorang makhluk untuk disembah bersama Tuhan, berati ia telah syirik. Siapa yang mempersamakan Al-Khaliq dengan makhluk dalam suatu macam ibadah, berati ia mengangkat Tuhan selain Allah, meskiun ia mempercayai keesaan Tuhan Al-Khaliq.
2.      Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan (diisyaratkan) oleh Tuhan melalui Rasul-rasul-Nya. Baik yang wajib , atau sunah ataupun mubah, harus dimaksudkan untuk ketaatan dan pernyataan syukur semata-mata kepada Tuhan.
Kelanjutan dari kedua hal tersebut ialah.
1.      Larangan mengangkat manusia, hidup atau mati, sebagai perantara Tuhan
Ibnu Taimiah mengakui ada manusia yang mempunyai keramat atau keluarbiasaan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ia dapat terhindar dari kesalahan, melainkan ia tetap menjadi hamba Tuhan yang terkena perintah-perintah-Nya. Keramat bukanlah merupakan sifat yang terbaik, sebab istiqamah (keteguhan ibadah/kelurusan hidup) masih lebih baik daripada keramat. Oleh karena itu, orang-orang saleh minta kepada tuhan untuk diberi istiqamah, bukan keramat. Akan tetapi dengan adanya keramat, seseorang yang mempunyainya tidak boleh dijadikan perantara kepada Allah. Tuhan sendiria melarang nabi muhammad untuk meminta ampun kepada Tuhan bagi orang-orang musyrikin, meskipun mereka termasuk keluarganya sendiri. (Q.S At – Taubat :113)
Kalau manusia yang hidup tidak bisa dijadikan perantara, maka demikian pula halnya dengan orang yang telah mati. Dalam hal ini Ibnu Taimiah mengatakan sebagai berikut :
“Kita tidak boleh meminta sesuatu kepada Nabi-nabi dan orang-orang saleh sesudah mereka wafat. Meskipun mereka hidup dikuburnya dan andaikan mereka dapat mendo’akan untuk orang-orang yang masih hidup, namun seseorang tidak boleh minta kepada mereka. Seseorang salaf tidak bebuat demikian, karena perbuatan itu mendapatkan syirik dan berarti menyembah selain Tuhan. Lain halnya dengan permintaan kepada mereka waktu hidupnya, maka tidak mendatangkan syirik.”
Minta pertoongan (istighotsah) kepada selain Allah juga tidak boleh, sebab yang berhak dimintai pertolongan adalah Dzat yang sanggup mengadakan perubahan dan hal ini hanya dimiliki oleh Tuhan semat-mata.
Ibnu Taimiah mengutip perkataan abu yazid al-Bustami sebagai berikut:
“permintaan tolong seoranf makhluk kepada makhluk lain bagaikan peermintaan tolong dari orang yang mau tenggelam kepada orang yang tenggelam pula.”
2.      Larangan mengadakan nazar kepada kubran atau penghuni kuburan atau penjaga kuburan.
Perbuatan ini haram, karena tidak ada bedanya dengan nazar kepada patung-berhala.  Dalam hal ini Ibnu Taimiah mengatakan sebagai berikut :
“Siapa yang pecaya bahwa kuburan mempunyai daya guna atau mendatangkan pahala, maka ia bodoh dan sesat.”
Bahkan ia lebih keras lagi mengatakan sebagai berikut :
“Siapa yang percaya bahwa nazar itu merupakan kunci untuk mendapatkan kebutuhan dari Tuhan dan dapat menghilangkan bahaya, membuka rizki atau menjaga pagar-batas maka ia menjadi musyrik yang harus dihukum mati”
3.      Larangan ziarah ke kubur-kubur orang saleh
Kelanjutan  yang logis dari kedua hal tersebut di atas ialah larangan ziarah kubur orang-orang saleh dengan maksud minta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah. Sedang kalau untuk maksud  mencari suri-tauladan dan nasehat (al-‘izhah wal i’tibar), maka dibolehkan , bahkan dianjurkan. Ibnu Taimiah mengatakan bahwa ziarah ke kubur Nabi untuk minta berkah juga tidak boleh, karena :
1.      Nabi melarang kuburnya dijadikan masjid, supaya jangan menjadi tempat ziarah orang. Karena itu kuburnya terletak di rumah istrinya, yaitu Siti Aisyah. Nabi sendiri pernah bersabda ketika hendak meninggal dunia: “Tuhan mengutuki orang-orang Yahudi dan Masehi, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabinya sebagai masjid.”
2.      Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabatnya apabila hendak memberi salam dan berdo’a, mereka menghadap qiblat. Juga apabila mereka hendak bepergian atau datang dari bepergian, mereka hanya mengarahkan diri ke kubur Nabi.
Demikianlah pendirian Ibnu Taimiah tentang ziarah kubur, termasuk ke kubur Nabi Muhammad SAW sendiri. Menurut Syekh Abu Zahrah, pendirian tersebut berlawanan dengan pendirian kebanyakan kaum muslimin. Ia dapat menyetujui pendirian Ibnu Taimiah tentang ziarah ke kubur-kubur orang-orang saleh sampai batas-batas tertentu, demikian pula memberi nazar kepadanya. Tetapi pendirian Syekh Abu Zahrah bebeda sama sekali tentang ziarah ke kubur nabi, sebab dasar larangan itu ialah  kekhawatiran munculnya “keberhalaan”, sedang untuk masa sekarang kekhawatiran itu tidak pada tempatnya, sebab sesseorang muslim bagaimanapun juga tidak akan memparsamakan kubur Nabi atau menganggap Nabi sebagai patung berhala. Kalau Ziarah ke kubur Nabi mengandung suatu pengagungan (taqdis) terhadap Nabi Muhammad SAW. Maka yang dia gungkan itu nabi  agama ketauhidan, dan setiap pengagungan terhadap nabi agama ketauhidan artinya  menghidupkan ketauhidan itu sendiri sebab berarti pengagungan terhadap prinsip-prinsip yang dibawa itu.
Dalam pada itu, ziarah ke kubur Nabi berarti mengatkan siakp Nabi dalam kesabaran, jihad dan perjuanganya serta usaha-usahanya untuk meninggikan kalimat “tauhid”, sehingga kekuasaan berhala tumbang. Menurut Nafi’seorang tabi’i, Ibnu Umar lebih dari seratus kali datang ke kubur nabi dan meletakkan tanganya pada tempat duduk nabi di mimbar. Imam-imam fiqh yang empat setiap kali datang di Madinah juga menziarahi kubur Nabi.
Kalau sekiranya Nabi menginginkan untuk tidak diziarahi kuburnya, tentu beliau tidak di kuburkan di rumah Siti Aisyah yang berdampingan dengan masjid Nabi, meskipun terletak  di dalamnya, melainkan di kuburkan di Baqi’, misalnya, tempat kuburan sahabat yang terletak kurang lebih 500 meter dari masjid Nabi.
Ziarah ke kubur Nabi menurut Syekh Abu Zahrah sangat baik. Minta berkah (tabarruk) sama sekali bukan ibadah ataupun mendekatinya, melainkan mengenangkan jasa-jasa  Nabi serta mengambil petunjuk dan teladan. Siapa orang yang tidak akan terharu ketika berhadapan dengan kubur Nabi, dimana hati menjadi khusyuk dan akal pikiran pun menjadi tunduk. Pada saat semacam itulah sesuatu do’a bisa mencapai keberkatan.[7]
Gerakan Pembaharuan
1.      Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
a.       Pemurnian Tauhid merupakan hal penting dalam menyelamatkan umat islam dari kesesatan.
b.      Umat islam harus terbebas dari perilaku bid’ah, sebaliknya harus ditumbuhkan semangat berijtihad.
c.       Manusia harus berpikir tentang batas-batas yang di tentukan alqur’an.
d.      Membenarkan cara kekerasan dalam memberantas penyimpangan akidah islam.
e.       Tidak membolehkan ta’wil dan menolak tajassum.
f.       Pembuatan syariat akidah semata-mata karena Allah.
g.      Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujjah.
h.      Menolak gagasan tentang orang suci (wali).
i.        Orang yang tidak sependapat dengan dia dianggap bid’ah dan kafir.
2.      Pemikiran Jamaludin Al-Afghani
a.       Konsep Pan Islamisme atau Khilafah ( dasar tauhid, ukhwah islamiyah, peramaan derajat, prinsip musyawarah, dasar keadilan). Konsep ini digunakan untuk memperkokoh solidaritas sesama muslim sedunia.
b.      Mendirikan gerakan al-Urwah al-Wusqo (ikatan yang kuat).
3.      Pemikiran Muhammad Abduh
a.       Penghapusan paham jumud
b.      Pembukaan pintu ijtihad
c.       Penghargaan terhadap akal
d.      Kekuasaan negara dibatasi konstitusi
e.       Memodernisasi sistem pendidikan di al-Azhar.
4.      Pemikiran Rasyid Rida
a.       Pemurnian ajaran islam dari pengaruh bid’ah, khurfat, dn tahayul, serta kembali pada alqur’an dan hadits.
b.      Dalam bidang sosial dilakukan dengan mengajak umat islam untuk selalu berpikir rasional, bekerja dinamis, dan kreatif.
c.       Bidang Pendidikan Rida lebih menekankan agar umat islam memiliki lembaga modern dan maju dengan kurikulum yang lengkap baik agama, umum, sains, serta teknologi.
d.      Bidang politik Rasyid rida menghendaki agar sistem khalifah modern diberlakukan kembali. Namun, tetap berakarkan pada ajaran islam.[8]


BAB III
KEIMPULAN
Aliran salaf adalah genersi awal yang dimulai dari sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang mengikuti jejak Rasulullah SAW. Sampai abad ke-3 H. Pada abad ke- 4  H terjadi pertentangan antara golongan Asy’aryah dan Hanabilah baik secara fisik maupun mental. Pada abad ke -7 H, muncullah Ibnu Taimiah yang telah memberikan vitalitasnya, dan pada abad ke- 12 H aliran salaf dihidupkan kembali oleh Syekh Muhammad bin abdul wahab dan aliran ini disebut aliran salafi wahabi.
Gerakan salaf terus menerus berkembang hingga sampai ke Indonesia melalui beberapa tokoh hingga akhirnya sampai ke Indonesia. Pada dasarnya gerakan salafiyah menghendaki agar islam kembali kepada ajaran yang murni yang bersumber Al-Qur’an dan Hadits. Gerakan tersebut juga berusaha menghapuskan umat islam dari bid’ah, khurafat, jumud, tahayul dan hal lain yang menyimpang menurut Alqur’an dan Hadits.







Daftar Pustaka
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlusunnah Waljama’ah, (cet. 3, 2005) hal. 3-9
Idahram, Aikh, Sejarah Berdasarkan sekte Salafi Wahabi, (cet. 2 2011) hal. 23
A. Hanafi M.A. THEOLOGY ISLAM (cet. Ke-6 1995) hal. 138
Allabautwahabi.blogspot.co.id/2011/12/salafi-melawan-salafi-perkembangan.html
A.Hanafi M.A. THEOLOGY ISLA
M (cet. ke-6 1995) hal. 144-148
Asnawi, Muh , Sejarah Kebudayaan Islam. 2006. Semarang: IKAPI



[1] Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSUNNAH WAL-JAMA’AH, (cet. 3, 2005) hal. 3-9
[2] Abu Fadhl Muhammad Ibnu Manzhur: Qamus Lisan al-Arab, Dar as-Shadir, Beirut, Lebanon 1410 H, cet. Ke-1, entri Sa-La-Fa, jilid 6, h. 330
[3] Syaikh Idahram, SEJARAH BERDASARKAN SEKTE SALAFI WAHABI, (cet. 2 2011) hal. 23
[4] Republika.co.id, oleh Heri Ruslan
[5] A. Hanafi M.A. THEOLOGY ISLAM (cet. Ke-6 1995) hal. 138
[6] Allabautwahabi.blogspot.co.id/2011/12/salafi-melawan-salafi-perkembangan.html
[7] A.Hanafi M.A. THEOLOGY ISLAM (cet. ke-6 1995) hal. 144-148
[8] Drs. Muh. Asnawi, M.Ag.. Sejarah Kebudayaan Islam. 2006. Semarang: IKAPI. Hal. (64-108)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maf'ul Mutlak

Makalah Mu'jam Maqoyis Al-Lughoh

AL IJAZ