GERAKAN SALAFIYAH
KELOMPOK 12
Disususn Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu: Syafi’i Jauhari
Disusun Oleh :
1.
Fika
Isna Diah ( 1503026034
)
2.
Kholifatul
Amanah ( 1503026035 )
3.
M.Arif
Muhyidin ( 1503026036 )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salaf merupakan
generasi awal mulai para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang mengikuti
semua jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Mereka mempunyai
pendapat tentang agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’).
Pada dasarnya mereka mengikuti ASWAJA. Sedangkan ASWAJA itu sendiri ada yang
disebut salaf itu sendiri dan khalaf yang berarti generasi yang datang
kemudian.
Salafiyah itu dibangun untuk
membangun kembali pemikiran kaum muslimin agar mereka kembali ke pedoman Al – Qur’an
dan Al - Hadits. Gerakan ini dipelopori oleh Ibn Taimiyah pada abad ke-7 H.
Adanya gerakan dari Ibn Taimiyah tersebut sempat menimbulkan perselisihan
dengan Asy’ariyah. Pada waktu bersamaan juga muncul Wahabiyah yang menitik
beratkan untuk berusaha memerangi faham lainnya, sehingga di munculkan gerakan
salaf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian gerakan salafiyah?
2.
Bagaimana sejarah dan perkembangannya?
3. Apa
saja pokok-pokok ajarannya ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian gerakan salaf
Gerakan
salafiyah gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran
Al-Qur’an dan Hadits. Salaf menurut bahasa adalah generasi pendahulu. Sedangkan
aliran salaf adalah generasi awal mulai dari para sahabat, tabi’in, tabi’it
tabi’in[1]. Kata
salaf adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri
secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman
kita[2].
Adapun makna terminologis as-salaf
adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah SAW. Dalam
haditsnya “sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) dimasaku, kemudian yang
mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at tabi’in).”
(HR. Bukhari dan Muslim).[3]
Aliran salaf terdiri dari
orang-orang Hanbaliyah yang muncul pada abad ke- 4 H dengan mempertalikan
dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yang dipandang oleh
mereka telah menghidupkan dan mempertahankan para pendirian ulama salaf.
B.
Sejarah dan Perkembangannya.
Setelah bahgdad (Pusat peradaban
Islam) dihancurkan oleh Tentara Mongol pada tahun 1258 M. Islam mengalami
kemunduran dari segi pemikiran, Keagamaan, Politik, Soial, maupun Moral. Pada
saat itu Kedzaliman merajalela, penguasa tak berdaya, ulama’ tak berijtihad
secara murni.
Kaum
muslimin mengalami masa taklid. Pada pertengahan abad ke 13M , mayarakat muslim
banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama’, dan tokoh-tokoh tarekat.
Mereka cenderung meninggalkan alqur’an dan sunnah. Pada waktu itu masyarakat
cenderung terjebak dalam perbuatan syirik, bid’ah, khurafat (menyeleweng dari
akidah islam) dan tahayul. Kondisi itu melahirkan melahirkan sebuah gerakan
yang dikenl dengan gerakan salafiyah.[4]
Pada
abad ke-4 H golongan hanabilah dan aliran asy’ariyah sering terjadi
pertentangan baik yang bersifat mental (perbedaan pendapat) maupun yang
bersifat fisik, karena dimana terdapat aliran asy’ariyah yang kuat, maka disitu
pula terdapat orang-orang hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu
yang berhak mewakili ulama salaf.
Pada abad ke-7 H, aliran salaf
mendapat kekuatan baru dengan munculnya Ibnu Taimiyah di Syiria (661-728 H)
yang telah memberikan daya-daya vitalitas kepadanya dan memperkaya
problem-problem yang dibicarakannya, yang diambilnya dari keadaan dimasanya.
Kemudian pada abad ke-12 H aliran salaf tersebut dihidupkan kembali di Saudi
Arabia dengan munculnya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dimana
pendapat-pendapatnya kemudian terkenal dengan sebutan “Aliran Wahabiyah”.
Pengaruh aliran salaf tidak hanya terbatas di negara Saudi saja, akan tetapi
hijrah melampaui batas negeri itu, seperti India, Indonesia dan sebagainya[5].
Tokoh yang pantas dianggap sebagai
pejuang salaf adalah Ibnu Taimiyah. Adapun nama lengkapnya adalah Abdul Abas
Taqijuddin Ahmad bin Abdilhalim bin Taimiyah Al Harrani (lahir 22 januari 1263
M/10 robi’ul awal 661 H, wafat: 1328 M/20 dzulhijah 728 H). Berasal dari Harran
Turki.
Kaum salaf memiliki beberapa sifat :
pertama tak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan qada’
dan qadar. Kedua menghindarkan diri dari kekuatan yang tak berujung, seperti
masalah aqidah. Ketiga setia pada Rasulullah SAW. Keempat warak dan zahid.
Kelima benci terhadap bidah. Geraka Salafiyah dikenal dengan tajdid
(pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya dengan gerakan islah (perbaikan) dan
gerakan Reformasi.
Pada perkembanganya gerakan salaf di
indonesia tidak terlpas dari dinamika internasional yang cenderung mendunia. Perkembangan salaf di indonesia
ternyata rawan konflik. Sumber konflik yang pertama adalah berasal dari konflik internasional. Hal ini termanifestasi
dalam tindakan saling kecam satu sama lain didalam gerakan salaf. Sedangkan konflik
yang kedua adalah ketegangan guru dan murid kerena ulah sang murid yang
dianggap melenceng oleh sang guru. Konflik ini di alami oleh Jafar Umar Thalib
dengan Yusuf Baisa yang saling menbid’ahkan satu sama lain. Konflik ketiga
adalah konflik antara ulama’ salaf
Dengan demikian gerakan salaf di
indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di timur tengah. Saling
tuding dengan mengatasnamakan agama menjadi ciri khas dari gerakan salafi.
Ironisnya kelompok salafi mengajarkan doktrin anti taqlid pada para
pengikutnya. Namun pengikut yang taqlid pada para syaikh di timur tengah. Hal
ini menyebabkan terjadinya konflik di timur tengah sehingga di indonesia juga
terjadi konflik.[6]
Gerakan salafiyah menyebar ke
seluruh penjuru dunia, termasuk indonesia. Sejumlah tokoh muslim yang
melanjutkan gerakan itu antara lain: Muhammad bin Abdul wahab, Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad
Rsyid Rida, dan lainnya.
C.
Pokok-pokok Ajarannya.
Kita tahu bahwa aliran mu’tazilah
memahami aqidah-aqidah islam menggunakan metode filsafat dan banyak pula yang
mengambil pikiran-pikiran filsafat, meskipun sikap ini timbul karena keinginan
hendak mempertahankan islam dari serangan-serangan lawannya yang berfilsafat
pula. Aliran yang datang kemudian itu aliran Asy’ariyah dan Maturidiah, juga
tidak terhindar dari metode tersebut, meskipun tidak sama tingkatan
pemakaiannya.
Ibnu Taimiyah membagi metode
ulama-ulama islam dalam lapangan aqidah menjadi 4 yaitu:
1.
Aliran filsafat yang mengatakan bahwa Al - Qur’an berisi dalil khotobi dan
iqnal (dalil penenang dan pemuas hati, bukan pemuaskan pikiran).
2.
Aliran mu’tazilah lebih memegang dalil aqli yang rasional sebelum mempelajari
dalil-dalil Al-qur’an.
3.
Golongan ulama yang percaya pada aqidah-aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan
oleh Al - Qur’an sebagai suatu berita yang harus dipercayai, tetapi tidak
dijadikan pangkal penyelidikan akal pikiran.
4.
Golongan yang mempercayai aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan dalam Al -qur’an
dan juga menggunakan akal pikiran.
Menurut Ibnu Taimiyah, metode aliran
salaf berbeda dengan keempat metode golongan tersebut. Aliran salaf hanya
percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalilnya yang ditunjukan oleh nash (Al -
Qur’an dan Hadits). Aliran salaf tidak percaya kepada metode logika rasionil
yang asing bagi islam, karena metode ini tidak terdapat pada masa sahabat dan
tabi’in.
Aliran salaf mengatakan bahwa kalau
sekiranya metode tersebut merupakan suatu keharusan, maka berarti Rasul dan
sahabat-sahabatnya tidak mengerti ayat-ayat
Alqur’an, bahkan tidak tahu perkataan mereka sendiri tentang sifat-sifat
Tuhan.
Jadi jalan untuk mengetahui aqidah –
aqidah islam dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, baik yang pokok
ataupun bukan, baik aqidah itu sendiri maupun dali-dalil pembuktiannya, tidak
lain sumbernya Al – Qur’an dan Hadist yang harus diterima dan tidak boleh
ditolak
Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan
untuk mena’wilkan Al – qur’an atau menfsirkannya ataupun menguraikannya,
kecuali dalam batas – batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan
dikuatkan oleh Hadist. Jadi fungsi akal
pikiran adalah saksi pembenar dan penjelasan dalil – dalil Qur’an, bukan
menjadi hakim atau menolaknya.
Pokok
ajaran dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai
pada waktu masa nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak
dikehendaki inovasi yang telah ditambahkan pada abad nanti karena material dan
pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan
kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini.
Tiga
pokok Ajaran Salafi :
1.
Keesaan Dzat dan Sifat
Semua kaum muslimin sepakat
pendapatnya tentang keesaan tuhan, tidak ada yang menyerupai-Nya. Akan tetapi
menurut ibn taimiah, konotasi (kandungan) perkataan “Keesaan “ (Tauhid) dan
perkataan-perkataan lainnya yang ada hubungannya dengan perkataan tersebut,
yaitu “Penyucian” (tanzih), “Penyerupaan” (Tasybih) dan “Penjisiman”(Tajsim
anthromorph) dapat berbeda-beda menurut perbedaan orang yang memakainya.
Perbedaan ulama tentang konotasi
(Kandungan arti) perkataan-perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi
alasan untuk menuduh orang lain telah kafir, sebab perbedaan tersebut timbul
karena perbedaan tinjauan, bukan perbedaan dalam arti yang sebenarnya. Aliran
salaf tidak pernah mengkafirkan lawan-lawannya, melainkan hanya memandang
mereka sesat, seperti golongan filosof, aliran mu’tazilah dan golongan tasawuf
yang mempercayai persatuan diri dengan Tuhan (ittihad) atau peleburan diri pada
dzat-Nya (fana’). Aliran salaf menetapkan sifat-sifat,
nama-nama,perbuatan-perbuatan, dan keadaan( ahwal) yang termuat dalam Al – Qur’an
dan Hadits, Seperti :
Al - Hajju(yang hidup),Al – Qayyamu ( yang tidak
membutuhkan yang lain), As-Shamadu ( yang dibutuhkan oleh yang lain), Al
–‘Alimu ( yang mengetahui), Al – Hakim( yang Bijaksana),As-Saami’ (yang mendengar),
AL – Bashiru (yang melihat
),Al-Qadhiru ( yang berkuasa), Al – Ghafur(yang memberi ampunan), Ar – Rahim (yang Pengasih), Dzul ‘arsy majid (yang mempunyai Arsy yang megah), murka dan suka(Q.S Al – Maidah : 80,Q.S An – Nissa :93),Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan(Q.S Al - Baqarah :210),Bertempat di langit (Q.S Fishilat :11),tidak mepunyai muka( Q.S al – Baqarah :115),mempunyai tangan (Q.S Ali – Imran :173). Sifat – sifat tersebut dipercayai oleh aliran salaf dengan memegangi arti lahir, meskipun dengan pegertian bahwa sifat – sifat tersebut tidak sama dengan sifat – sifat makhluk - Nya
),Al-Qadhiru ( yang berkuasa), Al – Ghafur(yang memberi ampunan), Ar – Rahim (yang Pengasih), Dzul ‘arsy majid (yang mempunyai Arsy yang megah), murka dan suka(Q.S Al – Maidah : 80,Q.S An – Nissa :93),Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan(Q.S Al - Baqarah :210),Bertempat di langit (Q.S Fishilat :11),tidak mepunyai muka( Q.S al – Baqarah :115),mempunyai tangan (Q.S Ali – Imran :173). Sifat – sifat tersebut dipercayai oleh aliran salaf dengan memegangi arti lahir, meskipun dengan pegertian bahwa sifat – sifat tersebut tidak sama dengan sifat – sifat makhluk - Nya
2. Keesaan Penciptaan
Dasar “Keesaan penciptaan” ialah
bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi, apa yang ada didalamnya atau yang
terletak diantara keduanya tanpa sekutu dalam menciptakannya, dan tidak ada
pula yang mempersengketakan kekuasaan-Nya, tidak ada kemauan makhluk yang mempersengketakan
kemauan Tuhan, atau bersama-sama dengan Dia dalam menciptakan segala sesuatu,
bahkan segala seuatu dan semua pekerjaan datang dari Tuhan, dan kepada-Nya pula
kembali.
Kelanjutan dari kepercayaan tersebut
ialah persoalan ”Jabar dan Ikkhtiyar” dan “Apakah perbuatan Tuhan terjadi
karena untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau tidak”
Sebenarnya pendaapat Ibnu Taimiah,
sebagai pembawa suara aliran salaf dalam masalah Qadha dan Qadar, merupakan
paham tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariah, dan pada
umumnya mendekati aliran Maturidiah.
3.
Keesaan Ibadah
Keessaan ibadah artinya seseorang
manusia tidak mengarahkan ibadahnya selain pada Tuhan, dan hal ini baru
terwujud apabila dua hal berikut ini dipenuhi, yaitu :
1. Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengakui ketuhanan
selain Allah, siapa yang mengikutsetarkan seseorang makhluk untuk disembah
bersama Tuhan, berati ia telah syirik. Siapa yang mempersamakan Al-Khaliq
dengan makhluk dalam suatu macam ibadah, berati ia mengangkat Tuhan selain
Allah, meskiun ia mempercayai keesaan Tuhan Al-Khaliq.
2. Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan
(diisyaratkan) oleh Tuhan melalui Rasul-rasul-Nya. Baik yang wajib , atau sunah
ataupun mubah, harus dimaksudkan untuk ketaatan dan pernyataan syukur
semata-mata kepada Tuhan.
Kelanjutan dari kedua hal tersebut
ialah.
1. Larangan mengangkat manusia, hidup atau mati, sebagai perantara
Tuhan
Ibnu
Taimiah mengakui ada manusia yang mempunyai keramat atau keluarbiasaan yang diberikan
oleh Tuhan kepadanya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ia dapat terhindar
dari kesalahan, melainkan ia tetap menjadi hamba Tuhan yang terkena
perintah-perintah-Nya. Keramat bukanlah merupakan sifat yang terbaik, sebab
istiqamah (keteguhan ibadah/kelurusan hidup) masih lebih baik daripada keramat.
Oleh karena itu, orang-orang saleh minta kepada tuhan untuk diberi istiqamah,
bukan keramat. Akan tetapi dengan adanya keramat, seseorang yang mempunyainya
tidak boleh dijadikan perantara kepada Allah. Tuhan sendiria melarang nabi
muhammad untuk meminta ampun kepada Tuhan bagi orang-orang musyrikin, meskipun
mereka termasuk keluarganya sendiri. (Q.S At – Taubat :113)
Kalau
manusia yang hidup tidak bisa dijadikan perantara, maka demikian pula halnya
dengan orang yang telah mati. Dalam hal ini Ibnu Taimiah mengatakan sebagai
berikut :
“Kita
tidak boleh meminta sesuatu kepada Nabi-nabi dan orang-orang saleh sesudah
mereka wafat. Meskipun mereka hidup dikuburnya dan andaikan mereka dapat
mendo’akan untuk orang-orang yang masih hidup, namun seseorang tidak boleh minta
kepada mereka. Seseorang salaf tidak bebuat demikian, karena perbuatan itu
mendapatkan syirik dan berarti menyembah selain Tuhan. Lain halnya dengan
permintaan kepada mereka waktu hidupnya, maka tidak mendatangkan syirik.”
Minta
pertoongan (istighotsah) kepada selain Allah juga tidak boleh, sebab yang
berhak dimintai pertolongan adalah Dzat yang sanggup mengadakan perubahan dan
hal ini hanya dimiliki oleh Tuhan semat-mata.
Ibnu
Taimiah mengutip perkataan abu yazid al-Bustami sebagai berikut:
“permintaan
tolong seoranf makhluk kepada makhluk lain bagaikan peermintaan tolong dari
orang yang mau tenggelam kepada orang yang tenggelam pula.”
2. Larangan mengadakan nazar kepada kubran atau penghuni kuburan atau
penjaga kuburan.
Perbuatan
ini haram, karena tidak ada bedanya dengan nazar kepada patung-berhala. Dalam hal ini Ibnu Taimiah mengatakan sebagai
berikut :
“Siapa
yang pecaya bahwa kuburan mempunyai daya guna atau mendatangkan pahala, maka ia
bodoh dan sesat.”
Bahkan
ia lebih keras lagi mengatakan sebagai berikut :
“Siapa
yang percaya bahwa nazar itu merupakan kunci untuk mendapatkan kebutuhan dari
Tuhan dan dapat menghilangkan bahaya, membuka rizki atau menjaga pagar-batas
maka ia menjadi musyrik yang harus dihukum mati”
3. Larangan ziarah ke kubur-kubur orang saleh
Kelanjutan yang logis dari kedua hal tersebut di atas
ialah larangan ziarah kubur orang-orang saleh dengan maksud minta berkah atau
mendekatkan diri kepada Allah. Sedang kalau untuk maksud mencari suri-tauladan dan nasehat (al-‘izhah
wal i’tibar), maka dibolehkan , bahkan dianjurkan. Ibnu Taimiah mengatakan
bahwa ziarah ke kubur Nabi untuk minta berkah juga tidak boleh, karena :
1. Nabi melarang kuburnya dijadikan masjid, supaya jangan menjadi tempat
ziarah orang. Karena itu kuburnya terletak di rumah istrinya, yaitu Siti
Aisyah. Nabi sendiri pernah bersabda ketika hendak meninggal dunia: “Tuhan
mengutuki orang-orang Yahudi dan Masehi, karena mereka menjadikan kubur
nabi-nabinya sebagai masjid.”
2. Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabatnya apabila hendak memberi salam
dan berdo’a, mereka menghadap qiblat. Juga apabila mereka hendak bepergian atau
datang dari bepergian, mereka hanya mengarahkan diri ke kubur Nabi.
Demikianlah pendirian Ibnu Taimiah
tentang ziarah kubur, termasuk ke kubur Nabi Muhammad SAW sendiri. Menurut
Syekh Abu Zahrah, pendirian tersebut berlawanan dengan pendirian kebanyakan
kaum muslimin. Ia dapat menyetujui pendirian Ibnu Taimiah tentang ziarah ke
kubur-kubur orang-orang saleh sampai batas-batas tertentu, demikian pula
memberi nazar kepadanya. Tetapi pendirian Syekh Abu Zahrah bebeda sama sekali
tentang ziarah ke kubur nabi, sebab dasar larangan itu ialah kekhawatiran munculnya “keberhalaan”, sedang
untuk masa sekarang kekhawatiran itu tidak pada tempatnya, sebab sesseorang
muslim bagaimanapun juga tidak akan memparsamakan kubur Nabi atau menganggap
Nabi sebagai patung berhala. Kalau Ziarah ke kubur Nabi mengandung suatu
pengagungan (taqdis) terhadap Nabi Muhammad SAW. Maka yang dia gungkan itu
nabi agama ketauhidan, dan setiap
pengagungan terhadap nabi agama ketauhidan artinya menghidupkan ketauhidan itu sendiri sebab
berarti pengagungan terhadap prinsip-prinsip yang dibawa itu.
Dalam pada itu, ziarah ke kubur Nabi
berarti mengatkan siakp Nabi dalam kesabaran, jihad dan perjuanganya serta
usaha-usahanya untuk meninggikan kalimat “tauhid”, sehingga kekuasaan berhala
tumbang. Menurut Nafi’seorang tabi’i, Ibnu Umar lebih dari seratus kali datang
ke kubur nabi dan meletakkan tanganya pada tempat duduk nabi di mimbar.
Imam-imam fiqh yang empat setiap kali datang di Madinah juga menziarahi kubur
Nabi.
Kalau sekiranya Nabi menginginkan
untuk tidak diziarahi kuburnya, tentu beliau tidak di kuburkan di rumah Siti
Aisyah yang berdampingan dengan masjid Nabi, meskipun terletak di dalamnya, melainkan di kuburkan di Baqi’,
misalnya, tempat kuburan sahabat yang terletak kurang lebih 500 meter dari
masjid Nabi.
Ziarah ke kubur Nabi menurut Syekh
Abu Zahrah sangat baik. Minta berkah (tabarruk) sama sekali bukan ibadah
ataupun mendekatinya, melainkan mengenangkan jasa-jasa Nabi serta mengambil petunjuk dan teladan.
Siapa orang yang tidak akan terharu ketika berhadapan dengan kubur Nabi, dimana
hati menjadi khusyuk dan akal pikiran pun menjadi tunduk. Pada saat semacam
itulah sesuatu do’a bisa mencapai keberkatan.[7]
Gerakan Pembaharuan
1.
Pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab
a. Pemurnian Tauhid merupakan hal penting dalam menyelamatkan umat
islam dari kesesatan.
b. Umat islam harus terbebas dari perilaku bid’ah, sebaliknya harus
ditumbuhkan semangat berijtihad.
c. Manusia harus berpikir tentang batas-batas yang di tentukan
alqur’an.
d. Membenarkan cara kekerasan dalam memberantas penyimpangan akidah
islam.
e. Tidak membolehkan ta’wil dan menolak tajassum.
f. Pembuatan syariat akidah semata-mata karena Allah.
g. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujjah.
h. Menolak gagasan tentang orang suci (wali).
i.
Orang yang
tidak sependapat dengan dia dianggap bid’ah dan kafir.
2.
Pemikiran
Jamaludin Al-Afghani
a. Konsep Pan Islamisme atau Khilafah ( dasar tauhid, ukhwah
islamiyah, peramaan derajat, prinsip musyawarah, dasar keadilan). Konsep ini
digunakan untuk memperkokoh solidaritas sesama muslim sedunia.
b. Mendirikan gerakan al-Urwah al-Wusqo (ikatan yang kuat).
3.
Pemikiran Muhammad
Abduh
a. Penghapusan paham jumud
b. Pembukaan pintu ijtihad
c. Penghargaan terhadap akal
d. Kekuasaan negara dibatasi konstitusi
e. Memodernisasi sistem pendidikan di al-Azhar.
4.
Pemikiran
Rasyid Rida
a. Pemurnian ajaran islam dari pengaruh bid’ah, khurfat, dn tahayul,
serta kembali pada alqur’an dan hadits.
b. Dalam bidang sosial dilakukan dengan mengajak umat islam untuk
selalu berpikir rasional, bekerja dinamis, dan kreatif.
c. Bidang Pendidikan Rida lebih menekankan agar umat islam memiliki
lembaga modern dan maju dengan kurikulum yang lengkap baik agama, umum, sains,
serta teknologi.
d. Bidang politik Rasyid rida menghendaki agar sistem khalifah modern
diberlakukan kembali. Namun, tetap berakarkan pada ajaran islam.[8]
BAB
III
KEIMPULAN
Aliran salaf adalah genersi awal
yang dimulai dari sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang mengikuti jejak
Rasulullah SAW. Sampai abad ke-3 H. Pada abad ke- 4 H terjadi pertentangan antara golongan
Asy’aryah dan Hanabilah baik secara fisik maupun mental. Pada abad ke -7 H,
muncullah Ibnu Taimiah yang telah memberikan vitalitasnya, dan pada abad ke- 12
H aliran salaf dihidupkan kembali oleh Syekh Muhammad bin abdul wahab dan
aliran ini disebut aliran salafi wahabi.
Gerakan salaf terus menerus
berkembang hingga sampai ke Indonesia melalui beberapa tokoh hingga akhirnya
sampai ke Indonesia. Pada dasarnya gerakan salafiyah menghendaki agar islam
kembali kepada ajaran yang murni yang bersumber Al-Qur’an dan Hadits. Gerakan
tersebut juga berusaha menghapuskan umat islam dari bid’ah, khurafat, jumud,
tahayul dan hal lain yang menyimpang menurut Alqur’an dan Hadits.
Daftar Pustaka
Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlusunnah Waljama’ah, (cet. 3, 2005) hal. 3-9
Idahram, Aikh,
Sejarah Berdasarkan sekte Salafi Wahabi, (cet. 2 2011) hal. 23
A. Hanafi M.A.
THEOLOGY ISLAM (cet. Ke-6 1995) hal. 138
Allabautwahabi.blogspot.co.id/2011/12/salafi-melawan-salafi-perkembangan.html
A.Hanafi M.A.
THEOLOGY ISLA
M (cet. ke-6
1995) hal. 144-148
Asnawi, Muh , Sejarah
Kebudayaan Islam. 2006. Semarang: IKAPI
[1]
Muhammad Tholhah Hasan,
AHLUSUNNAH WAL-JAMA’AH, (cet. 3, 2005) hal. 3-9
[2] Abu Fadhl Muhammad Ibnu Manzhur:
Qamus Lisan al-Arab, Dar as-Shadir, Beirut, Lebanon 1410 H, cet. Ke-1, entri
Sa-La-Fa, jilid 6, h. 330
[3] Syaikh Idahram, SEJARAH
BERDASARKAN SEKTE SALAFI WAHABI, (cet. 2 2011) hal. 23
[4]
Republika.co.id, oleh Heri Ruslan
[5] A. Hanafi M.A. THEOLOGY ISLAM
(cet. Ke-6 1995) hal. 138
[6]
Allabautwahabi.blogspot.co.id/2011/12/salafi-melawan-salafi-perkembangan.html
[8]
Drs. Muh. Asnawi, M.Ag.. Sejarah Kebudayaan Islam. 2006. Semarang: IKAPI.
Hal. (64-108)
Komentar
Posting Komentar